Mayor Prabowo: “Dukun, Ngapain Kamu Ikut Terbang! Saya Perintahkan Segera Kembali..!!”

By: dr. Boyke Ambo Setiawan
(Purnawirawan Kopassus TNI-AD)

Pada suatu hari, saya masih ingat saat Pasukan Mayor Prabowo, operasi di Timor Timur pada tahun 1983, mengumpulkan Para Komandan Tim (DanTim), di Markas Komando Operasi.

Saya, melihat Komandan, menggelar Peta dan para Dantim mengengelilingi Komandan. Mayor Prabowo menjelaskan secara singkat tentang Operasi selanjutnya, didaerah Watulari, tepatnya di kaki Gunung Matabean.

Saya ikut menyimak, seperti seolah-olah saya akan ikut bertempur. Saya lihat, Komandan, hanya mendelik liat saya antusias memperhatikan Taktik Serangan yang akan dilakukan, dengan sedikit senyum kecil khasnya. Mungkin sambil berkata dalam pikiran Mayor Prabowo: “Emangnye gua mo ajak loe apa...?” Mungkin. Sampai hari ini saya gak pernah tanya soal senyum khasnya itu.

Terakhir setelah penjelasan Taktik Operasi nya, Mayor Prabowo menutup briefingnya, dengan perintah biasa kepada saya: “Dukun (panggilan dokter kepada saya), kamu Solo Bandung (Standby) di Lanud (Bacau)...!!”

Saya hanya bisa dan boleh menjawab : “Siap Komandan.” (bukan yg lain). Padahal, saya maunya diajak oleh Komandan ikut merasakan bagaimana bertempur. Karena saya kan selain Dokter juga Prajurit Komando, yg punya Baret Merah, ikut Pendidikan Komando 6 (enam) bulan dan seumur hidup ditendang dan ditabok orang ya disini (oleh Pelatih).

Singkat cerita, pasukan menuju Daerah Operasi, dengan menggunakan truk ke arah Kaki Gn. Matabean, sektor Selatan. Dan saya pindah tidur ke Lanud Bacau.

Selama di Lanud Bacau, saya banyak duduk di Ruang Pengendali Operasi (Pusdalops), ikut mendengarkan Komunikasi Radio dari seluruh Pasukan yang bertugas operasi di Timtim, termasuk memonitor Pasukan Bravo yang sedang di kaki Gn. Matabean.

Tiba di radio komunikasi Pusdalops, ada permintaan bantuan tembakan udara dari Pasukan Bravo yang dikomandani Mayor Prabowo, dgn memberikan Titik Koordinat Bantuan Tembakan Udara (Bantem Udara).

Saya, hanya mendengarkan, sambil melamun dan mendengarkan suara tembakan satu satu tapi cukup ramai dari radio. Tiba-tiba saya didatangi Kapten Penerbang Panji Utama, seorang Penerbang OV-10 Bronco, dan berkata: “Dok, mau ikut ke Matabean? Bravo butuh Bantem.”

Saya terdiam sejenak, kan tugas saya bukan ikut terbang, tapi standby di Lanud bila sewaktu-waktu tenaga saya dibutuhkan untuk evakuasi. Saya mau ijin ke Komandan Prabowo, gimana, lagi seru2 nya tembakan dan pasti gak akan ngijinkan.

Akhirnya saya bilang ke Kap.Panji: “Siap pak, saya ikut...”

Kap. Panji mengingatkan saya: “Bawa kamera Dok”. Siap kata saya.

Saya ikut briefing Bantuan Udara antara Kap. Panji dan Mayor PNB. Lambert Silooy, Penerbang Sky Hawk.

Saya awalnya agak bingung: Kenapa mesti dua pesawat dgn 2 (dua) jenis berbeda; Satu OV-10 dan satu lagi Sky Hawk? Tapi saya diam saja dan saya pakai pakaian tempur Pilot atau G-Suit
(G-Suit yang didesain khusus agar dapat mengembang dan mengempis sesuai dengan tekanan yang dihadapi oleh pilot untuk menghindari terjadinya G-Loc) dan kami terbang, OV-10 mendahului krn kami pesawat Turbo-Baling2, sedangkan Sky Hawk pesawat Jet.

Kap. Panji menerbangkan pesawatnya sangat rendah, melintas diatas pohon2 hutan tropis, atau istilah terbang tempur “Tree Top” (diatas puncak pepohonan, agar sulit ditembak dari bawah).

Saya dengar komunikasi antara Kap. Panji (OV-10) dan Mayor Lambert Silooy (Sky Hawk), soal koordinat Bantuan Tembakan Udara. Kemudian saya dengar Kap. Panji komunikasi dgn Pasukan Darat terdepan yg saya ingat dipimpin oleh Letda.Inf. Chaerawan (Pangkat terakhir Mayor Jenderal dan Jabatan terakhir di BIN), tentang sasaran atau titik tembak.

Pesawat OV-10 mutar2 dekat daerah sasaran. Kapten Panji bilang ke saya: “Dok, liat kebelakang atas Sky Hawk sudah keliatan atau belum?”

Saya liat dan saya jawab: “Sudah ada diatas kita mutar2”

Saya bertanya: “Kapten Panji kenapa kita mutar2? Itu Sky Hawk sudah ditas kita.”

Kapten Panji menjawab tenang saja: “Iya, radio pasukan darat tidak bisa kontak langsung ke Sky Hawk, tapi harus melalui radio kita dulu (OV-10), baru dari kita, diteruskan ke Sky Hawk”.

“Waduh...,” saya cuma bisa bilang gitu.

Tiba2 Kap. Panji memberi tahu ke saya: “Siap2 Dok, kita akan ke titik musuh yg sedang bertempur dgn pasukan Bravo (Prabowo).”

Saya menjawab singkat: “Siap Pak”.

Dan pesawat langsung mengarah ke Gunung Matabean sambil melepaskan tembakan udara rentetan ke arah depan. Saya bisa mendengar dengan jelas via head phone yg menempel di telinga saya.

Tiba2 saya dengar, dibawah badan pesawat bunyi seperti besi kena besi.

Saya tanya Kapten Panji: “Bunyi apa Kapten?”

Kap. Panji, dengan tenang menjawab: “Pesawat kita ditembakin Dok.”

Saya terdiam, tapi terus mengambil gambar dgn video kamera Jadul Sonny segede gajah.

Dan, saya kerasa pesawat goyang sedikit, rupanya melepas Bom Asap Warna (Merah), yg rupanya itulah titik atau lokasi musuh berada sebagai tanda bagi Sky Hawk untuk melepaskan tembakan.

Saya liat Sky Hawk sdh menukik dari ketinggian langit dan saya beritahu Kap. Panji: “Kapten itu Sky Hawk sudah diatas kita!”

Dijawab: “Tenang Dok, kita pergi”.

Akhir nya OV-10 pergi, dan memutar balik kearah Pasukan Darat, dan komunikasi Pilot dgn Dantim, Letnan Chaerawan, bahwa missi selesai dan akan kembali ke Base (Lanud Bacau).

Diakhir komunikasi, Kap. Panji, mengatakan: “Saya bersama Dukun Bravo (tim dokter pasukan Bravo)”.

Letnan Chaerawan dari bawah berkata: “Halo Mbo ngapain ikut?”

Belum saya, menjawab, tiba2 di radio ada suara Komandan Prabowo: “Dukun (dokter) ngapain diatas? Saya perintahkan segera kembali ke pangkalan!!”

Dijawab Kap. Panji: “Siap Komandan, Pull Out!” Saya mendengar suara Mayor Prabowo singkat: “Terima kasih”.

Kami kembali ke Pangkalan di Bacau dan ternyata Sky Hawk sudah mendarat duluan dan saya liat mereka dibriefing berdua.

Saat Pak Prabowo kembali ke Basis Pasukan di Bacau, dan sampai hari ini setelah 35 (tiga puluh lima tahun) berlalu, beliau tidak pernah bertanya kepada saya mengapa ‘bandel’ atau saling bercerita tentang kisah di Timtim 1983 “Boyke Di Udara dan Prabowo Di Darat”.

Mungkin dalam hati beliau: “Al-ḥamdu lil-lāh, selamat semua” (Mungkin)

Kesan saya saat 35 tahun yang lalu terhadap Komandan Pasukan saya Mayor Inf. Prabowo Subianto: Beliau seorang Prajurit TNI yang berani, bertempur dan memimpin pertempuran bersama pasukan dan berada diantara anak buahnya. Mengendalikan langsung jalannya pertempuran yg berlangsung.

Dibalik ketegasannya, beliau sosok yang bijaksana, tidak pernah menegur dan memarahi saya, malah ketika bertemu sepulang operasi cuma singkat saja: “Hai, Dok” (dgn senyum khas kecilnya).

Sekian.

__
*Foto: Prabowo (kedua dari kiri) saat di Timor Timur.

Prabowo mengawali karier militernya di TNI Angkatan Darat pada tahun 1974 sebagai seorang Letnan Dua setelah lulus dari Akademi Militer di Magelang.

Dari tahun 1976 hingga 1985, Prabowo bertugas di Komando Pasukan Sandi Yudha (Kopassandha), pasukan khusus Angkatan Darat pada saat itu. Salah satu penugasan pertamanya adalah sebagai komandan pleton pada Grup I/Para Komando yang menjadi bagian dari pasukan operasi Tim Nanggala di Timor Timur.

Berusia 26 tahun, Prabowo merupakan salah satu komandan pleton termuda dalam operasi tersebut. Ia berperan besar dalam memimpin sebuah misi penangkapan terhadap Nicolau dos Reis Lobato, pemimpin Fretilin yang pada saat Operasi Seroja menjabat sebagai Perdana Menteri.

Dengan bantuan adiknya sendiri Antonio Lobato, kompi Prabowo menemukan Lobato di Maubisse, sebuah kota kecil lima puluh kilometer di selatan Dili. Ia tewas tertembak di perut saat bertempur di Lembah Mindelo pada 31 Desember 1978; salah satu peristiwa yang menandai berakhirnya perlawanan terbuka Fretilin terhadap invasi militer Indonesia dan bermulanya pendudukan militer atas bekas wilayah jajahan Portugal tersebut.

Pada tahun 1983, Prabowo telah menjabat sebagai wakil komandan pada Detasemen Khusus 81 (Penanggulangan Teror) di Kopassandha.

Pada tahun 1985, Prabowo menjadi wakil komandan Batalyon Infanteri Lintas Udara 328 (Yonif Para Raider 328/Dirgahayu), pasukan para raider di Kostrad.

Dua tahun kemudian, setelah menamatkan pelatihan Special Forces Officer Course di Fort Benning (pangkalan militer Angkatan Darat Amerika Serikat) ia menjadi komandan batalyon tersebut; jabatan yang dijabatnya selama tiga tahun.

Pada 1991, ia menjabat sebagai kepala staf Brigade Infanteri Lintas Udara 17 (Brigif Para Raider 17/Kujang I), yang bermarkas di Cijantung. Dalam kapasitas itu, Prabowo yang saat itu telah berpangkat letnan kolonel terlibat dalam operasi pemburuan dan penangkapan Xanana Gusmao, salah satu tokoh pemimpin gerilyawan Fretilin.

Pada tahun 1993, Prabowo kembali ke pasukan khusus, yang kini dinamai Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Ia diangkat menjadi komandan Grup 3/Sandi Yudha, salah satu komando kontra-insurjensi Kopassus. Ia seterusnya menjabat sebagai wakil komandan komando dan komandan komando, di bawah kepemimpinan Brigadir Jenderal Agum Gumelar dan Brigadir Jenderal Subagyo Hadi Siswoyo.

Pada bulan Desember 1995, Prabowo diangkat sebagai komandan jenderal Kopassus dengan pangkat mayor jenderal. Sebagai komandan jenderal, salah satu tugas pertama Prabowo adalah operasi pembebasan sandera Mapenduma.