MELAWAN BUZZER ISTANA

Oleh: Azwar Siregar

LAWAN NARASI DENGAN NARASI

Saya menolak semua aksi kekerasan. Kecuali dua hal, masalah aqidah dan kehormatan.

Jadi, kalau misalnya Kang Pepih Nugraha dan komplotannya membuat narasi yang berisi hoaks atau bahkan cenderung fitnah, mari kita lawan narasinya dengan tulisan yang berisi kebenaran.

Terkadang memang menjengkelkan. Saya kadang jengkel. Misalnya ketika mereka menggoreng fitnahan kepada Prof. Abdul Basith, Dosen IPB yang dituduh menyiapkan Bom Molotov dan di tangkap Densus 88. Foto-foto botol-botol yang dilakban sebagai barang buktipun beredar di dunia maya. Saya tertawa. Mosok iya, sekelas Dosen dari Universitas ternama mainannya cuma Bom Molotov?

Ngga perlu jadi dosen, ngga perlu dipersiapkan, minum krateng daeng botolan dan ganti isinya, tadda...jadilah Bom Molotov.

Kemarin saya mendengar kalau botol-botol itu ternyata berisi minyak jarak. Mungkin saja penelitian Pak Dosen IPB. Minyak jarak, dosen dan IPB. Lebih masuk akal. Itu, kalau anda masih bisa berpikir normal.

Tapi para buzzer-buzzer tak berpeler langsung menggorengnya. Media juga tidak mau kalah. Karena sekarang media-media juga kualitasnya tidak jauh berbeda dengan kumpulan para buzzer. Bedanya mereka masih bisa berlindung dibalik kata "Pers". Padahal seringkali wartawannya lebih banyak orang-orang stress. Maka jutaan hujatan dan fitnahanpun langsung mencabik-cabik dosen yang malang itu. Tidak ada yang membela.

Saya kesal. Saya marah. Tapi saya tetap menolak aksi kaki melawan narasi. Saya menolak kekerasan tangan melawan tulisan.

Para buzzer memfitnah dan menyebarkan hoaks. Wajar, karena memang itu tugas mereka. Mereka-mereka dibutuhkan dan dipekerjakan oleh rezim ini sebagai team hore. Panggung Pemerintahan sepi prestasi, isinya cuma manusia-manusia dungu. Tidak ada yang bisa dibanggakan. Tugas para buzzer mengalihkan perhatian, karena tidak ada hasil kerja dari rezim ini yang bisa dibanggakan, maka dibuat pengalihan dengan menyerang lawan. Goreng isu Khilafah, Isis, Taliban, Teroris, HTI dan semua yang bisa membangkitkan emosi kelompok mayoritas.

Masyarakat yang tidak terima aqidahnya "dilecehkan" bereaksi. Ribut sesama rakyat. Lupa mengawasi orang-orang dungu yang mereka pilih untuk mengelola Negara ini. Rupiah terpuruk, hutang menumpuk dan ekonomi bangsa semakin memburuk. Tapi semua lupa dan dibuat memang lupa. Sesekali KPK diberikan umpan, Anggota DPR atau Menteri ditangkap karena Korupsi, rakyat tepuk tangan karena merasa Negara ini masih berjalan normal. Padahal kalau KPK benar-benar bekerja, mungkin saja Gedung DPR dan semua Gedung-gedung Pemerintahan termasuk Istana akan kosong. Tersisa Jan Ethes dengan mobil golf yang kemarin dia naiki bersama kakeknya.

#TirikYaluk

(02/10/2019)